Kemitraan manajemen bencana antara Jepang dan Asia Tenggara bukanlah hal baru. Misalnya, Badan Kerjasama Internasional Jepang (JICA) telah bekerja sama dengan pemerintah Filipina selama setengah abad dalam penanggulangan banjir. Salah satu proyek yang paling menonjol adalah upaya mitigasi banjir di sepanjang Sungai Pasig-Marikina yang mengalir melalui pusat Metro Manila. Proyek ini telah berlangsung selama lebih dari 30 tahun. Meningkatnya curah hujan membuat risiko banjir meningkat setiap tahun di wilayah metropolitan, tempat populasi tumbuh pesat. Pinjaman yen dari Jepang telah digunakan untuk pembangunan infrastruktur, seperti peningkatan Manggahan Floodway, anak sungai yang memungkinkan air banjir Sungai Marikina mengalir ke Danau Laguna, dan memperbaiki Sungai Marikina itu sendiri. Hal ini dapat mengurangi kerusakan akibat banjir di sepanjang sungai dan juga membantu menjaga fungsi kota. Faktanya, Ketika Topan Vamco (Ulysses) melanda tahun 2020, kerusakan diyakini sudah sangat berkurang berkat perbaikan saluran banjir dan sungai. Jepang dan Filipina memiliki banyak kesamaan dalam hal medan dan persebaran penduduk, dengan 75% wilayah Jepang berupa pegunungan dan setengah dari penduduknya tinggal di sepanjang sungai. Ini adalah salah satu contoh bagaimana penanggulangan ilmiah terhadap banjir yang dikembangkan Jepang selama bertahun-tahun membantu mengurangi risiko banjir di Filipina.
Di Jepang, lebih dari 5.000 orang meninggal atau hilang selama Topan Isewan (Topan Vera) tahun 1959. Gempa Bumi Besar Hanshin-Awaji tahun 1995 menewaskan lebih dari 6.000 orang, banyak di antaranya tewas tertimpa reruntuhan bangunan. Kemudian pada tahun 2011, Gempa Bumi Besar Jepang Timur memicu tsunami raksasa yang melanda berbagai wilayah, mengakibatkan 18.000 orang meninggal atau hilang.
Bencana alam juga sering terjadi di wilayah-wilayah di Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Gempa Bumi dan Tsunami Samudra Hindia 2004 mengakibatkan 220.000 korban di seluruh negara di sepanjang pantai Samudra Hindia. Kerusakan yang disebabkan oleh bencana alam lainnya juga menyusul, seperti angin siklon 2008 di Myanmar dan Topan Super Haiyan (Yolanda) di Filipina pada tahun 2013. Jepang telah memberikan banyak bantuan kepada berbagai negara ASEAN hingga saat ini, seperti merumuskan rencana manajemen bencana, meningkatkan infrastruktur, dan melatih sumber daya manusia. Dalam beberapa tahun terakhir, upaya tersebut telah berkembang melampaui kerja sama bilateral.
Pada bulan Oktober 2023, JICA menandatangani nota kesepahaman dengan Pusat Koordinasi ASEAN untuk Bantuan Kemanusiaan dalam Penanggulangan Bencana (AHA Centre) untuk mendorong upaya tanggap bencana bersama. AHA Centre didirikan di Jakarta, Indonesia, pada tahun 2011 untuk berbagi informasi terkait bencana di antara negara-negara ASEAN dan mengoordinasikan bantuan darurat. Penandatanganan nota kesepahaman ini bertujuan untuk memperkuat kemitraan Jepang-ASEAN dalam menanggapi bencana. Nota kesepahaman ini akan membantu pengoperasian sistem manajemen informasi bencana yang mengawasi ASEAN sebagai satu kawasan dan pembangunan jaringan manajemen
bencana.
Selain kemitraan internasional ini, Jepang juga berupaya lebih keras untuk mengekspor teknologi manajemen bencana, yang dipimpin oleh sektor publik dan swasta. Penelitian dan pengembangan manajemen dan mitigasi bencana menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) terus berkembang di Jepang. Misalnya, sedang dikembangkan sistem yang menggunakan AI, alih-alih manusia, untuk menganalisis data citra satelit secara otomatis saat terjadi bencana dan langsung mengidentifikasi area yang akan terdampak. Sistem yang sedang dikembangkan ini akan dapat dengan cepat mengekstrak data yang diperlukan pemerintah daerah untuk membuat keputusan pemberitahuan evakuasi, membantu dalam pengambilan keputusan untuk setiap area yang terdampak, dan mendukung panduan evakuasi. Setelah diterapkan secara praktis, sistem ini akan dapat membantu mengurangi kerusakan lebih awal dan terhubung dengan pekerjaan pemulihan yang cepat.
Kimio Takeya, seorang profesor yang ditunjuk secara khusus di Institut Penelitian Internasional Ilmu Bencana, Universitas Tohoku, yang telah terlibat dalam bantuan pemulihan bencana di seluruh dunia selama bertahun-tahun, menekankan bahwa “Dari semua negara maju, Jepang adalah satu-satunya negara yang memanfaatkan sejarahnya sendiri dalam mengalami bencana untuk mengembangkan, memperbaiki, dan menyempurnakan teknologi manajemen bencana. Kami telah menggunakannya sendiri, yang memungkinkan kami untuk menyajikannya dengan percaya diri dan membuatnya digunakan di seluruh dunia.” Ia menunjukkan bahwa, “Di antara bencana alam, banjir menyebabkan kerugian ekonomi terbesar, dan gempa bumi menyebabkan jumlah korban tewas tertinggi, tetapi Eropa dan Amerika Serikat jarang mengalami bencana ini.” Takeya menjelaskan bahwa negara-negara Asia memiliki beberapa karakteristik regional yang sama: pemukiman secara historis berkembang di sepanjang sungai untuk bercocok tanam padi, yang menempatkan kota-kota di lokasinya saat ini dan membuatnya rentan terhadap kerusakan akibat banjir, dan gempa bumi juga sering terjadi. Hal ini membuat teknologi Jepang menarik karena dikembangkan berdasarkan pengalaman.
Takeya dikenal sebagai tokoh terkemuka yang menjadikan konsep “Build Back Better” (Bangun Kembali Lebih Baik) sebagai standar global dalam dunia manajemen bencana. Konsep ini mendorong masyarakat untuk meningkatkan tindakan penanggulangan selama upaya pemulihan untuk mencegah terulangnya kerusakan serupa. Berinvestasi dalam kesiapsiagaan bencana adalah hal yang paling ditekankan Takeya saat ini. Meskipun sistem peringatan dini dapat menyelamatkan nyawa, itu saja tidak cukup. Ia menekankan bahwa ekonomi regional tidak boleh terus-menerus hancur. Menurutnya, penting bagi para pemimpin dan menteri keuangan masing-masing negara untuk menyadari bahwa berinvestasi dalam tindakan pencegahan banjir jauh lebih murah daripada menanggung kerusakan akibat bencana jika tidak ada tindakan penanggulangan.
Pada tanggal 5 Juni 2024, Pertemuan Tingkat Menteri tentang Strategi terkait Ekspor Infrastruktur dan Kerja Sama Ekonomi diadakan di Aula Kecil di lantai dua Kediaman Resmi Perdana Menteri di Nagatacho, Tokyo. Di sana, kerangka kerja untuk Strategi Promosi Luar Negeri Sistem Infrastruktur 2030 telah disetujui, sebagai kebijakan bagi Jepang untuk terus memperluas pasar infrastruktur global Hal ini termasuk ekspor sistem infrastruktur manajemen bencana. Kepala Sekretaris Kabinet Yoshimasa Hayashi, yang memimpin rapat tersebut, merangkumnya dengan mengatakan, “Sektor publik dan swasta harus melampaui konsep infrastruktur konvensional dan membentuk kemitraan di bidang-bidang baru untuk berkontribusi pada pertumbuhan berkelanjutan negara kita dan dunia sekaligus meningkatkan eksistensi perusahaan-perusahaan Jepang.”
Pertemuan Tingkat Menteri tentang Strategi terkait Ekspor Infrastruktur dan Kerja Sama Ekonomi didirikan pada tahun 2013 oleh Kabinet Shinzo Abe pada waktu itu untuk mendukung perusahaan-perusahaan Jepang dalam berekspansi ke pasar infrastruktur global. Hal ini terjadi pada waktu ketika pemerintahan Xi Jinping mulai aktif membangun infrastruktur di negara-negara tetangga dan meluncurkan Inisiatif Sabuk dan Jalan, yang bertujuan untuk menciptakan zona ekonomi besar-besaran. Seorang pejabat pemerintah Jepang yang mengetahui situasi tersebut pada saat itu menjelaskan bahwa "pemerintah Abe memutuskan bahwa Jepang perlu melawan Tiongkok dengan menjadi negara yang menonjol di Asia juga." Dengan memperkuat kemitraan dengan negara-negara ASEAN melalui BOSAI, Jepang berharap tidak hanya dapat membantu melindungi kehidupan dan aset banyak orang dari bencana tetapi juga memperkuat kemitraan ekonomi dan diplomasi luar negeri.
Oleh Akio Yaita
Jurnalis. Lulus dari Fakultas Sastra di Universitas Keio.
Setelah menyelesaikan gelar doktornya di Akademi Ilmu Sosial Tiongkok, ia bekerja sebagai koresponden untuk Sankei Shimbun di Beijing dan sebagai kepala biro Taipei. Merupakan seorang penulis atau rekan penulis dari banyak buku.
* Kisah-kisah dan materi di atas disediakan oleh JIJI.com atau AFPBBNews. Jangan ragu
untuk menampilkan kisah-kisah ini di media Anda sendiri, asalkan disebutkan sumbernya.